Kemandirian Huria Kristen Indonesia (HKI)
Suatu Perspektif Sejarah Oleh
Pdt. Dr. JR. Hutauruk
Pendahuluan.
HKI pada tahun ini sudah memasuki usia ke – 89 tahun ( 1927 – 2016 ) dan tahun depan akan mencapai usia 90 tahun ( 1927 – 2017 ). 2027 mendatang HKI akan merayakan Jubileum 100 tahun Huria Kristen Indonesia, suatu perjalanan yang pasti diisi dengan perenungan historis-teologis tentang perjalanan hidupnya selama satu abad. Dulu namanya Huria Christen Batak ( H.Ch.B.), nama yang sejak 1927 mempersekutukan puluhan warga Kristen Batak sekitar Pantoan dan Batu Opat di bawah pimpinan tokohnya Sutan Malu Panggabean. Nama itu telah diganti dengan nama baru sesuai dengan hasil Sinode Patane, Porsea 1946 yaitu Huria Kristen Indonesia (HKI), yang hingga kini disandang olehnya.
Ini hanyalah contoh dari banyak perubahan yang telah dialami oleh Gereja HKI selama 89 tahun ini. Dengan fokus pada isu kemandirian HKI itu sendiri, maka kita perlu menghubungkan HKI dengan isu-isu kemandirian yang memengaruhi hidup bermisi, bergereja dan berbangsa di Indonesia dan di luarnya. Sejarah HKI tidak terlepas dari sejarah misi dan gereja di Asia, khususnya di Indonesia. Seperti apa rumusan kemandirian itu ( teoretis) oleh HKI sendiri dan seperti apa itu diterjemahkan dalam perbuatan dan tindakan, itulah yang perlu kita renungkan melalui tulisan sederhana ini. Kita kini sudah berada pada zaman yang sangat beda dengan zaman di mana generasi Sutan Malu Panggabean hidup dan berkarya. Kita sedang berada pada dunia yang mengglobal, dunia tanpa tapal batas karena kemajuan teknologi informasi yang membuat umat manusia itu seolah-olah hidup dalam satu kampung. Kita berada dalam Keristenan Global dengan misi global. Namun ada baiknya mengingat kembali apa yang dirumuskan para pendahulu kita tentang Kemandirian Gereja itu.
Beberapa rumusan tentang Kemandirian.
- “Self support, self government, self propagation”
Ditengah perkembangan dan perluasan misi / sending ( Kristen Protestant dan Katolik Roma ) pada abad ke-20 di mana beberapa gereja lahir di tengah masyarakat Indonesia dan ditempat lainnya di Asia dan Afrika, maka para pemikir misi dan gereja telah melihat adanya masalah di antara misi/sending dan jemaat-jemaat yang lahir dan bertumbuh itu, misalnya jemaat-jemaat yang berdiri di Tanah Batak sejak 1860an. Misalnya Lembaga Sending Jerman ( Rheinische Missionsgesellschaft, disingkat RMG ) telah mengalami kesulitan di bidang dana dan daya, karena perubahan politik di Eropa, akibat Perang Dunia I ( 1914 – 1918 ) dan akibat perkembangan ekonomi yang semakin surut, sehingga berakibat pada masalah daya dan dana Sending RMG. Upaya untuk mengatasinya telah dilakukan oleh masing-masing lembaga sending. Dan pada aras Konferensi Sending Internasional di Edinburg 1910 telah muncul satu rumusan baru tentang kemandirian Gereja-gereja “Muda” di daerah penginjilan itu. Istilah gereja “muda” dipakai untuk membedakan gereja pengutus atau gereja asal para misionaris yang melayani di benua Asia dan Afrika itu, yang dikenal dengan nama gereja “tua”. Rumusan itu mengisyratakan bahwa setiap gereja “muda” itu harus : “Self support, self government dan self propagation”, artinya mandiri di bidang dana, pemerintahan dan penyebaran Injil. Rumusan itu telah tersosialisakan di kalangan tokoh gereja Barat ( gereja “tua”) sejak 1851 di mana pencetusnya adalah Misiolog Gereja Anglikan Henry Venn.
Isi rumusan ini telah menjadi acuan bagi para misionaris Jerman di Tanah Batak jauh sebelum rumusan ini diambil alih oleh Konferensi Misi Sedunia 1910 di Edinburg itu. Tokoh Sending Jerman Ingwer Ludwig Nommensen beserta misionaris lainnya telah mencanangkan rumusan tiga mandiri itu di bidang dana dan penyebaran Injil, yaitu pada aras jemaat sejak berdirinya gedung gereja dan sekolah di atas lahan pemberian warga desa hingga pemenuhan kebutuhan para pelayan pribumi seperti guru dan pendeta. Namun kalau di bidang kepemimpinan tidak demikian halnya. Kepemimpinan itu masih dilakukan para misionaris Jerman hingga mereka terpaksa menghentikan semua tugas pelayanan mereka akibat Perang Dunia II. Sinode Agung Istimewa 10 – 11 Juli 1940 di Seminari Sipoholon,Tarutung telah memilih pimpinan pusat HKBP, yaitu Voorzitter Pdt.Kasinaus Sirait. Istilah “Ephorus” karena berbau Jerman artinya berbau bahasa musuh, maka istilah “Ephorus” diganti dengan istilah Belanda yaitu “Voorzitter”, sedang fungsinya tetap sama seperti apa yang pernah dilayankan seorang “Ephorus”.
Masalah kemandirian di bidang Kepemimpinan di kalangan gereja-gereja Kristen Protestant berlatarbelakang Batak ( KemandiriaToba ) hingga kini belum tuntas. Setiap proses revisi Tata Gereja atau amandemen beberapa pasal dari Tata Gereja yang berlaku, selalu mendapatkan diskusi, bahkan polemik yang berkepanjangan. Di kalangan HKBP misalnya isu tentang sistem episkopal, sinodal dan presbiterial itu belum tuntas, selalu menghasilkan analisa dan interpretasi yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Pada hal isu tentang di bidang dana ( self support ) dan pemberitaan Injil keluar dan ke dalam ( self propagation ) tidak pernah didiskusikan dan dijalankan sekuat dan seserius diskusi, debat tentang kepemiminan itu. Rumusan itu tinggal rumusan tanpa peningkatan dana dan pemberitaan Injil untuk masa kini dan mendatang. Mungkin demikian terjadi pada gereja-gereja Batak lainnya. Namun satu hal mesti disebutkan dalam isu kemandirian di bidang kepemimpinan itu, yaitu apa yang telah dilakukan oleh HKI dalam memilih pimpinan pusatnya yaitu Ephorus dan Sekretaris Jenderal dengan cara “masijomput na sinurat” – semacam undian, setalah melalui proses penyaringan nama-nama yang oleh Sinode Godang layak untuk menjadi pimpinan pusat HKI. Banyak hal yang merugikan dapat terselesaikan oleh cara itu, misalnya kampanye di luar sinode, margaise, daerahisme, “suap”, dll. Dari segi teologis dapat dikatakan bahwa cara itu menandakan bahwa KHI sangat mendambakan kekuatan Roh Kudus akan menguasai setiap pribadi anggota Sinode Godang, percaya pada bimbingan Roh Kudus. Adalah tugas sebuah Komisi Teologi HKI dalam mencari dan menemukan arti dan makna teologis dari cara pemilihan tersebut, sehingga HKI punya dasar pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan kini dan pada hari-hari mendatang.
- Kemandirian di bidang Daya, Dana dan Teologi.
Belum lagi tuntas diimplemantaasikan gereja-gereja “muda” rumusan kemandirian temuan Henry Venn itu abad ke-19 lampau, kepada gereja-gereja itu sudah disajikan rumusan baru tentang Kemandirian itu, yaitu kemandirian yang fokus pada peningkatan Daya, Dana dan Teologi sejak 1970an baik di kalangan gereja maupun di kalangan pendidikan teologi. Rumusan ini bukan menistakan rumusan lama, tetapi melengkapinya dan memberikan tekanan pada sumber daya manusia yang berada dibelakang upaya untuk meningkatkan dana dan teologi itu sendiri. Misalnya di kalangan pendidikan Teologi dulu dari kalangan staf pengajar itu masih lumrah diterima seorang yang meraih Sarjana Teologi ( S1), tetapi kemudian sudah menjadi tuntutan zaman bahwa seorang staf pengajar itu minimal sudah meraih pendidikan teologi pasca-sarjana, misalnya Master Teologi atau Magister Teologi. Sarana yang dibutuhkan pendidikan Teologi pun harus memenuhi standar yang sudah ditentukan oleh badan yang mengelola pendidikan Teologi di Indonesia, seperti Persetia dan Dikti dari pihak pemerintah. Melihat perkembangan pendidikan Teologi yan dikelola oleh beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Sumut, kita masih menemukan kekurangan baik dari sarana maupun daya para pengajar. Akan menjadi apa para calon pendeta yang sudah meraih keserjanaan di bidang Teologi ditengah gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia. Mampukah mereka melayani gereja dan masyarakat di tengah gelombang arus perubahan yang sedemikian kencang kini? Ataukah mereka akan berada di luar perubahan-perubahan sosial-ekonomi-politik, budaya – termasuk Pengetahuan / Teknologi terbarukan kini, alias hidup pada alam budaya tradisional yang resipien / pasif itu? Apakah gereja-gereja berlatar belakang adat dan budaya Batak itu tetap terkurung dalam tradisi yang diwariskan para pendahulu itu? Ataukah gereja-gereja berlatar belakang Batak itu berupaya membuat suatu pembaharuan di tengah adat dan budaya itu sehingga menjadi adat dan budaya yang kreatif-imajinatif?
Suatu pertanyaan teologis dan praksis yang sedang bergaung dan disampaikan kepada gereja-gereja berlatarbelakang Batak kini ialah bagaimana gereja sebagai lembaga rohani dan spiritual dapat merubah sikap dan mental penduduk di desa-desa sekitar Danau Toba sehingga mampu secara kreatif mengikuti arus perubahan sosial,ekonomi dan budaya manusia yang sedang ditantang oleh perubahan “Tanah Batak” itu jadi suatu objek wisata modern, menjadi “Bali Kedua” sesuai rencana Badan Otorita Pengelola Kawasan Parawisata Danau Toba (BOP-KDPT). HKI dan gereja-gereja yang secara budaya dan geografis menyatu dengan kawasan Danau Toba itu punya peran penting untuk memberdayakan umat Kristen di sana, sehingga ikut membangunnya secara kreatif, artinya menjadi manusia-manusia baru dengan membawakan adat dan budaya Bataknya ikut menyerap perubahan yang bakal terjadi itu. Manusia sekitar Danau Toba itu akan tetap Batak yang sejak lama sudah menjadi Kristen, dan hingga kini tetap Kristen. Ternyata penduduk kabupaten sekitar Danau Toba itu dihuni oleh 75 % Kristen ( Protestan dan Katolik Roma ), satu-satunya daerah di Indonesia yang penduduknya mayoritas Kristen. Sebagai kawasan parawisata daerah Danau Toba itu akan menampakkan wajah kekristenan itu, wajah yang sopan, ceria dan jujur terhadap orang-orang yang datang ke sana untuk mencicipi keindahan alam Danau Toba dan tutur sapa manusia yang menghuninya yaitu Batak. Desa-desa yang mampu menyugukan tarian-tarian dan gondang Batak yang memancarkan roh kedamaian dan persekutuan dengan semua manusia tanpa membedakan warna kulit, ras, budaya dan agama. Desa-desa yang memproduksi hasil-hasil kerajinan tangan seperti tikar, hasapi, ulos, dan kerasi-kreasi baru yang muncul dari imajinasi manusia Batak itu, sehingga barang-barang suvenir itu adalah hasil kerasi manusia Batak, bukan manusia Bali atau Jawa? Sumber Daya Manusia dari desa-desa Batak itu harus mampu berinovasi dan menciptakan kreasi baru. Dan ini semua berpulang kembali kepada para pendeta dari gereja-gereja berlatarbelakang Batak itu. Ketiga unsur Kemandirian Gereja itu adalah modal dasar untuk memampukan warga jemaatnya jadi pelaku dan subjek dari kawasan parawisata daerah Danau Toba itu, bukan menjadi penonton atau korban dari dampak-dampak negatif dari sebuah industri wisata modern di dunia yang mengglobal itu, seperti maraknya kehidupan seks bebas, narkoba atau tindakan-tindakan kriminal lainnya. Program meningkatkan SDM warga jemaat HKI dan warga gereja gereja tetangganya mau tak mau harus jadi salah satu program HKI dalam menyongsong Jubiluem 100 tahun HKI 2027 mendatang. HKI diuji kemandiriannya oleh rencana pemerintah NKRI melalui kehadiran dan program BOP-KDPT, demikian juga gereja-gereja Batak lainnya seperti GKPI, KGLI, GKPPD, HKBP dll.
- Kemandirian di bidang “Keadilan,Perdamaian Dan Keutuhan Ciptaan” (KPKC) – Justice, Peace And Integrity Of Creation”.
Inilah rumusan ketiga dari Kemandirian Gereja, yang telah dicanangkan oleh seluruh gereja-gereja ( berhimpun pada Sidang Raya Gereja-gereja Sedunia ke-7 ( WCC ) 1991 di Canberra , Australia, yang pasti dihadiri oleh para wakil dari Gereja-gereja Kristen Protestant berlatarbelakang etnis Batak. Apa yang kita singgung di atas yaitu tentang kesiapan gereja-gereja kita untuk memberdayakan, memersiapkan dan mendampingi warga gereja kita untuk ikut berperan aktif dalam menciptakan desa-desa dan manusia penghuninya ikut terintegrasi pada Kawasan Parawisata Danau Toba, adalah bagian dari ketiga unsur kemandirian yang dicanangkan oleh Sidang Raya DGD 1991 itu. Keadilan sosial akan ditegakkan di sana, misalnya kesejahteraan ekonomi rakyat di sana tertingkatkan, bukan sebaliknya semakin miskin. Kedamaian yang dicicipi rakyat kini karena kearifan lokal Batak ( adat dan budaya Batak ) jangan sirna, tetapi semakin nyata dan mengglobal, artinya kedamaian itu bukan hanya sebatas desa atau marga, tetapi kedamaian termasuk , kesopanan, tuturbahasa santun, jauh dari tindakan kriminal itu akan terpancar kepada sesama manusia yang datang sebagai turis mancanegara itu. Dan satu hal lagi yang tidak kurang pentingnya ialah isu tentang “Keutuhan Ciptaan” yang keutuhannya itu di Danau Toba dan sekitarnya sedang menurun, bahkan sudah dalam tahap membahyakan keutuhan ciptaan Tuhan di Danau Toba, airnya yang sudah terpolusi sehingga ikan citaan Tuhan mati tidak berdaya karena ulah manusia itu sendiri, bukan ulah manusia dari dunia elien. Suara gereja-gereja di sekitar Danau Toba nampaknya tidak bergema, para pendeta yang melayani di tepi Danau Toba itu rupanya sibuk sendiri tanpa mendengar jeritan air Danau Toba.
Tulisan ini bukan hendak meratapi situasi kawasan Danau Toba kini, tetapi sebaliknya tetap optimis bahwa Tuhan Sang Pencipta masih memberikan waktu kepada kita ciptaanNya ini untuk bangkit bersamasama melakukan yang positif. Para pendeta sebagai salah satu Sumber Daya Manusia yang diharapkan mempersiapkan manusia yang hidup sekitar Danau Toba menjadi pelaku yang kreatif yang diandalkan oleh banyak pihak dalam membangun daerah sekitar Danau Toba jadiParawisata Kawasan Parawisata yang disenangi oleh para wisatawan manca negara.
Penutup.
Rumusan Kemandirian yang sudah dihasilkan oleh para pemikir gereja sedunia, seasia dan seindonesia pasti perlu digali untuk mengetahui bahwa Gereja Tuhan di dunia ini tidak pernah berhenti berpikir, namun yang paling penting untuk kita kini ialah membuahkan hal-hal yang praktis dan kreatif di tengah warga gereja dan sesama manusia. Tugas gereja-gereja di Sumut kini terutama para pemimpinnya ialah melanjutkan karya pelayanan para pendhulu kita dalam meningkatkan kehdu pan bergerja di bidang dana, daya dan teologi. Dalam hal ini peran seorang pemimpin, apakah pemimpin itu disebut seorang Ketua, Bishop atau Ephorus sangatlah menentukan. Pada rumusan tertua ciptaan abad ke-19 masih disebutkan sebagai salah satu kriteria kemandirian gereja ialah “government” atau kepemimpinan. Namun pada rumusan-rumusan terbaru kriteria itu sudah ditiadakan, karena tidak saatnya lagi bagi sebuah gereja di pimpin oleh seorang pimpinan yang tak punya visi dan misi ke depan, seorang pemimpin yang jujur, cerdas, tegas dan beriman serta mampu mendengar inspirasi para pelayan lainnya. Adalah bijaksana kalau kini setiap pimpinan gereja-gereja berlatarbelakang Batak itu memprioritaskan rencana, program dan kegiatan yang menjurus pada peningkatan SDM para pelayan dan warga gereja itu. Setiap “punguan” yang sudah terbentuk lama pada aras jemaat itu hendaknya disadarkan akan pentingnya meningkatkan sember daya manusia demi mempersiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan yang sedemikian cepat itu, a.l. pembangunan kawasan parawisata Danau Toba. Punguan Pararikamis di Tomok atau Ambarita atau Parapat itu hendaknya diberdayakan menciptakan ragam kerajinan tangan yang menjadi bakal komoditi parawisata atau pargodungan – komplek gereja itu diciptakan sedemikian rupa jadi tempat wisata rohani/spiritual yang dibungkus dengan budaya Batak. Sudah sejak dulu punguan Ina Batak adalah unsur penggerak utama di gereja-gereja berlatarbelakang Batak. Pengunjung ibadah minggu di setiap gereja Batak adalah kaum perempuan Batak. Urusan birokrasi dan adminsitrasi memang penting, tetapi itu semua bisa didelegasikan pada para pelayan lainnya, sehingga seorang Ephorus itu akan lebih banyak berada di tengah manusia sebagai domba Tuhan yang patut diberdayakan secara utuh, rohani,spiritual, jasmani ( rasa, pikir dan kreasi/inovasi ). Seorang Ephorus atau Ketua atau Bishop yang didambakan gereja-gereja Batak kini ialah manusia yang terbuka ke depan, jauh ke depan menuju eskatologi, sehingga dngan demikian peka terhadap jeritan ciptaan Tuhan yang di mana-mana sedang dilanda berbagai penyakit sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup. Seorang pemimpin yang dengan senang hati penuh perhatian untuk selalu memberdayakan dan mendampingi para pelayan lainnya. Nasehat Apostel Paulus kepada sesamanya di kota Efesus patut kita renungkan dan hayati. Mari kita tutup tulisan ini dengan mengutib nasehatnya ini: “dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” ( Ef.5:16 )
Medan, awal Juli 2016
Catatan:
Tulisan untuk Majalah “Mutiha Bina Warga HKI”***
No comments yet.