Dalam rangka menyambut Hari Literasi Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September, literasi budaya Batak menjadi fokus utama dalam pertemuan strategis yang diadakan antara Ephorus Huria Kristen Indonesia (HKI), Pdt. Firman Sibarani, dan Rustani br. Simanjuntak, seorang peneliti sastra Batak yang dikenal gigih memperjuangkan eksistensi aksara Batak. Pertemuan tersebut berlangsung di Kantor Firma Hukum Victoria, milik Kamaruddin Simanjuntak, SH, di kawasan Jakarta Barat.
Rustani merupakan penerima penghargaan dari Batak Center atas kontribusinya dalam pelestarian aksara Batak. Salah satu hasil karyanya yang sangat berharga adalah penyusunan Buku Ende dengan aksara Batak, yang kini menjadi referensi penting dalam pengembangan literasi liturgis berbasis kearifan lokal. Kehadirannya bersama Jecky Simatupang, SE dalam pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan mereka ke HKI Daerah XII pada 30 Juli 2025 lalu, yang telah membuka pintu dialog antara gereja dan pelaku budaya.
Pertemuan ini tidak hanya menjadi simbol dukungan moral terhadap gerakan pelestarian budaya Batak, namun juga membuka diskusi konkret mengenai bagaimana literasi budaya Batak dapat diintegrasikan dalam kehidupan bergereja, pendidikan informal, hingga sektor ekonomi kreatif di kalangan jemaat.
Turut hadir dalam pertemuan ini berbagai tokoh penting gereja dan komunitas Batak:
Pdt. Happy Pakpahan (Praeses HKI Daerah XII)
Pdt. Meri Hutapea (Kepala Departemen Diakonia HKI)
Peran Gereja dalam Mendorong Literasi Budaya Batak
Dalam pertemuan yang berlangsung penuh antusiasme dan semangat kolaborasi ini, dibahas secara mendalam beberapa ide strategis yang bertujuan untuk memperkuat posisi gereja sebagai agen literasi budaya Batak, antara lain:
1. Pengajaran dan Kursus Aksara Batak di Lingkungan Gereja
Gereja didorong untuk tidak hanya mengajarkan Alkitab, tetapi juga mewariskan kekayaan budaya lokal. Salah satu langkah nyata adalah dengan mengadakan kursus sukarela aksara Batak kepada kaum muda dan parhalado. Dengan memanfaatkan Buku Ende beraksara Batak, jemaat tidak hanya bernyanyi, tetapi juga belajar membaca dan memahami simbol budaya mereka sendiri.
2. Pelibatan Generasi Muda dalam Industri Kreatif Berbasis Budaya
Diskusi berkembang pada gagasan agar budaya Batak menjadi bahan baku kreatif dalam berbagai sektor seperti animasi, film pendek, pengembangan aplikasi, seni pertunjukan, desain komunikasi visual, kuliner, hingga fashion. Hal ini membuka peluang bagi generasi muda untuk menjadikan identitas budaya Batak sebagai kekuatan dalam industri kreatif masa kini.
3. Pemberdayaan Ekonomi Jemaat lewat Produk Budaya yang Kontekstual
Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, gereja didorong menjadi fasilitator dan pendamping bagi jemaat yang memiliki potensi seni dan keterampilan. Misalnya, dengan menciptakan karya-karya batik bermotif Batak, lagu rohani dalam format digital berbasis bahasa Batak, atau merchandise khas HKI dengan unsur budaya. Literasi budaya Batak di sini berperan sebagai fondasi nilai dalam setiap bentuk karya.
Misi Bersama: Merawat Akar Budaya di Tengah Arus Globalisasi
Menurut Pdt. Firman Sibarani, gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembentukan identitas dan karakter umat. Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, penting bagi gereja untuk tidak membiarkan generasi mudanya tercerabut dari akar budaya. Gereja harus hadir sebagai penjaga warisan dan penggerak budaya.
“Literasi budaya Batak bukan hanya tentang membaca aksara atau mengenali motif ulos, tetapi tentang memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita memaknai iman dalam konteks budaya sendiri,” ujar Ephorus HKI.
Ephorus juga menyampaikan bahwa HKI siap berkolaborasi dengan berbagai pihak—peneliti, seniman, pegiat budaya, dan komunitas kreatif—untuk membangun program-program berkelanjutan yang mendorong keterlibatan aktif jemaat dalam pelestarian budaya Batak.
Harapan dan Doa: Literasi Budaya Batak Menjadi Gerakan Lintas Generasi
Pertemuan ini menjadi titik awal dari sebuah gerakan kolektif yang diharapkan dapat terus bergulir. Harapannya, literasi budaya Batak tidak berhenti pada seminar atau pelatihan, tetapi hidup dalam praktik nyata umat—dalam ibadah, dalam karya, dalam pendidikan anak-anak, dan dalam pola pikir yang menghargai jati diri.
“Kami berharap gereja-gereja HKI di seluruh daerah dapat menjadi titik-titik cahaya yang memperkenalkan budaya Batak dalam terang Kristus. Mari kita bergandengan tangan, menanamkan nilai-nilai luhur budaya Batak kepada generasi berikutnya,” tutup Rustani br. Simanjuntak.
Salam Literasi Budaya Batak!
Semoga pertemuan ini menginspirasi gereja-gereja dan komunitas Batak lainnya untuk bergerak bersama, menyatukan iman dan budaya demi masa depan yang kaya akan nilai dan makna.
No comments yet.